Duh sayang udah kebeli
Perihal sunk cost fallacy dan sedihnya jadi karyawan
Misalkan, sebagai contoh, anda baru saja beli tiket konser Ultra Singapore, sebuah pagelaran musik jedag-jedug di negara tetangga. Harganya anggaplah 200 SGD (Kurang lebih 2 juta rupiah lah).
Lalu karena acaranya 2 hari, anda book hotel, ya 3 hari lah kasih jalan-jalan sehari. Anggap saja total-total 2 juta rupiah juga supaya gampang. Terakhir anda beli tiket pesawat, anggaplah tiket pulang-pergi 1.5 juta rupiah.
Lalu muncullah berita, kasus Coronavirus (2019 NcOV) terkonfirmasi di Singapura. Wow panik wow yeah, kasusnya belum banyak tapi semua orang Singapur yang kiasu (atau dalam kasus ini mungkin kiasi, takut mati, lebih tepat) sudah ngeborong sembako. Bapak dan emak anda kemungkinan besar ada berkicau, “gak usah pergi lah, bahaya” dan kemudian membagikan anda info-info yang mereka dapat dari sumber-sumber kurang terpercaya yaitu dari broadcast grup Whatsapp.
Mungkin anda menilai, risiko anda kena virus tersebut tidak begitu besar karena anda…..adalah pemuda yang sehat dan bugar yang suka ngangkat besi berat-berat dan makan daun di mall. Mungkin juga tetap terbesit di kepala anda ketakutan akan kemungkinan (sepertinya) kecil anda kena virus tersebut.
Mungkin sempat muncul keraguan di kepala anda.
“Apa gak usah pergi ya?”
Kalau ternyata kemungkinan kenanya memang super kecil, dan anda tidak peduli dengan informasi dari grup Whatsapp keluarga besar kalian, mungkin kalian akan terbang, jedag-jedug, joged-joged, belanja, pulang, hepi.
Tapi kalau kemungkinan kenanya ternyata besar, menyebar cepat, dan entah kenapa Ultra-nya tidak dicancel dan refund duit tiketnya, terus anda tetap pergi, mungkin itu yang disebut sunk cost fallacy. Anda tetap menjalani sesuatu (bisa karir, hubungan, koleksi gundam) karena sudah terlanjur “keluar banyak” dan tidak rela melihat apapun yang anda banyak keluarkan itu “sia-sia”.
Biasa di teks-teks sulit seperti buku ekonomi dan buku-buku yang nyuruh mikir sunk cost fallacy diilustrasikan seperti ini:
Anda seorang CEO perusahaan besar. Anda gelontorin USD 500 miliar untuk sebuah project robot penggaruk punggung. 3 tahun berlalu dan ternyata robot penggaruk punggung ini kurang laku, dan manager yang anda tunjuk buat ngurus project ini minta suntikan dana USD 300 miliar lagi untuk menyelamatkan project ini. Di saat bersamaan, anda sebagai CEO merasa ada potential opportunity lagi untuk project baru yaitu kursi pijat yang bisa sekalian menggaruk punggung. Kira-kira project kursi pijat garuk ini butuh USD 300 miliar. Duit perusahaan ngepas cuma cukup buat danain satu project.
Lalu karena anda merasa sayang sama project robot penggaruk punggung karena sudah keluar USD 500 miliar dan sudah keluar tenaga selama 2 tahun, maka anda suntikin dana lagi ke project itu.
((Ternyata tetap gak laku dan perusahaan anda bubar. Sementara perusahaan milik sepupu jauh anda ternyata duluan mengeluarkan kursi pijat yang bisa sekalian menggaruk punggung, dan sukses besar. Sejak saat itu setiap kumpul keluarga pas imlek anda terlihat menyedihkan.))
Kalau dijelasin seperti ini sudah jelas moralnya anda harus tau kapan harus menyerah (bisa diterapkan dalam berbagai bidang) ketimbang terus berjuang seperti karakter anime yang mengalahkan bos super kuat dengan kekuatan persahabatan.
Istilahnya seperti investor ulung lah. You win some, you lose some. Toh buat apa mempertahankan saham yang sudah merugi terus dan prospeknya jelek? Untuk itu ada hal yang namanya cut loss yaitu membatasi kerugian di level tertentu (hal yang sangat sulit untuk dilakukan ternyata, karena…sunk cost fallacy).
Sekarang bayangkan anda jadi manager yang disuruh pegang project robot penggaruk punggung tersebut:
Namaku Dani, 31 tahun, seorang manager dari PT X. 2 tahun lalu ketika aku baru dipromosikan menjadi manager di usiaku yang masih tergolong muda, aku diberi kepercayaan oleh boss untuk memegang project/product baru yang aku sanggupi karena aku termakan ucapan boss kalau product ini akan laku banget di pasaran. Sebagai manager baru, tentu aku sangat bersemangat menjalani project ini, apalagi dengan dana sangat besar yang menggambarkan skala project ini. Aku pikir semuanya akhirnya berjalan sesuai impianku! Karirku melejit, istriku baru hamil anak pertama, dan kami baru pindah rumah. Rasanya aku seperti di langit!
Tetapi 2 tahun berselang. Ternyata hidup tidak seindah yang kubayangkan. Setelah produk dipasarkan, ternyata produk ini kurang laku. Segala hal kucoba lakukan, dengan melakukan berbagai perbaikan pada produk dan biaya marketing yang sangat gencar. Tapi ternyata kurang berhasil. Selama 2 tahun ini aku jadi jarang di rumah. Karirku terancam, dengar-dengar boss ada ide project baru yaitu kuri pijat yang bisa sekalian menggaruk punggung. Padahal aku butuh dana lagi untuk mencoba menyelamatkan project ini. Kalau boss memilih mendanai project baru, maka project-ku akan ditelantarkan. Istriku tahun ini minta cerai dan juga hak asuh anak. Sekarang aku sedang bolak-balik pengadilan sambil mengurus project-ku ini.
Aku tahu sebenarnya lebih bijaksana untuk perusahaan kalau dana diinvestasikan untuk project baru saja. Tetapi aku tidak rela kalau project-ku ditelantarkan. Kalau ditelantarkan, lalu gagal, siapa yang akan dianggap paling bersalah? Aku! Aku tidak punya apa-apa lagi. Aku harus mempertahankan project ini….
Nah lho susah juga kan ya.
Biasanya di akhir narasi seperti tadi harusnya diakhiri dengan Dani bertanya “Aku harus apa?” kepada anda para pemirsa di rumah. Jadi, permisa….
Dani harus apa?